Wednesday, November 24, 2010

Asuransi Pendidikan Vs Reksadana

U-Mag #30, Mei 2010

Dana Pendidikan

Asuransi dan tabungan pendidikan kadang tak bisa menutupi kebutuhan pendidikan anak kita. Solusinya adalah dengan menginvestasikan dana pendidikan.
------

Demi tak membayar supermahal di kemudian hari, Anda dan pasangan saat ini (mungkin) telah mempersiapkan dana pendidikan anak. Biasanya, dengan membeli produk asuransi pendidikan dengan jangka waktu tertentu, atau membuka rekening tabungan khusus pendidikan anak.

Seperti Arin, 28 tahun. Eksekutif di perusahaan elektronik asal Korea Selatan ini setiap bulan menyisihkan gajinya demi mendapatkan uang pertanggungan lebih dari Rp 100 juta untuk pendidikan Zahwa, putri semata wayangnya yang kini berusia 2 tahun. Dia menilai asuransi plus investasi untuk pendidikan adalah yang paling pas. “Saya tak perlu pusing nantinya,” kata Arin, yang tengah mempersiapkan Zahwa masuk preschool Juli nanti.

Sementara Arin (merasa) sudah membereskan urusan masa depan anak, Anda dan pasangan bisa jadi demikian. Namun perencana keuangan dari Quantum Magna Financial, Ligwina Hananto, menganggap produk asuransi ataupun tabungan yang berembel-embel pendidikan ini kurang tepat sasaran. “Bukan produknya yang salah, hanya tidak sesuai dengan kebutuhan,” kata perempuan yang akrab disapa Wina ini.

Penyebabnya inflasi. Semua produk pasti mengalami inflasi, termasuk biaya pendidikan anak. Khusus untuk dana pendidikan, besaran inflasi yang terjadi bisa mencapai 15-20 persen per tahun. Artinya, jika saat ini Arin harus menyediakan biaya masuk preschool sekaligus taman kanak-kanak anaknya Rp 7 juta, perlu biaya yang lebih besar lagi untuk masuk sekolah yang sama tahun depan.

Komponen pendidikan pun perlu diperhatikan. Biaya apa saja yang bisa dimasukkan dalam rencana pendidikan ini biasanya meliputi uang pangkal, uang bulanan, uang per semester, atau biaya tahunan.

Namun ada perbedaan antara menghitung uang sekolah dan uang kuliah. Untuk playgroup hingga sekolah menengah atas, hanya uang pangkal yang diperhitungkan dalam pos dana pendidikan. Adapun uang bulanan (sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP) dan uang pendaftaran biasanya dimasukkan dalam pos pengeluaran bulanan dan pengeluaran tahunan rumah tangga. Ini karena SPP biasanya tak terlalu besar.

Berbeda dengan biaya pendidikan di perguruan tinggi, yang harus diperhitungkan soal biaya masuk di awal tahun perkuliahan, biaya satuan kredit semester (SKS) per semester, dan biaya SPP yang dibayar setiap semester.

Nah, untuk mengejar laju kenaikan biaya pendidikan tadi, Anda yang memilih produk tabungan pendidikan diharuskan menyetor lebih dari Rp 1 juta setiap bulan. Dan Anda yang memutuskan membeli produk asuransi pendidikan harus mengambil produk dengan biaya pertanggungan Rp 100 juta. Bayangkan berapa besar biaya yang perlu Anda keluarkan.

Menurut Winda, jika Anda memiliki produk tabungan pendidikan dengan setoran Rp 1 juta per bulan, Anda tak memiliki masalah sampai anak Anda menyelesaikan bangku sekolah dasar. Masalah baru muncul saat anak Anda hendak masuk sekolah menengah pertama, karena dana yang Anda kumpulkan di tabungan pada tahun ke-11 tak cukup untuk menutup biaya pendidikannya. Apakah asuransi pendidikan lebih baik? Belum tentu. Bahkan kita harus nombok sejak anak masuk SD.

Tentu sebagai orang tua, Anda tak mau hal itu terjadi bukan? “Saya ingin yang terbaik untuk anak nantinya, tapi tak terlalu memberatkan saat saya tua nanti,” begitu kata Arin. Karena itu, Wina menuturkan sebaiknya Anda sebagai orang tua berhati-hati sebelum membeli produk berlabel pendidikan bagi putra-putri Anda.

***

Kini pertanyaannya, adakah alternatif solusi untuk mempersiapkan dana pendidikan anak di masa depan? Wina punya jawabnya, “Berinvestasilah di produk-produk keuangan dan investasi.” Penyebabnya ada perbedaan yang cukup signifikan antara hasil inflasi dan hasil investasi setiap tahun, seperti dipaparkan dalam tabel di bawah ini.

Bandingkan saja. Jika Anda memilih tabungan pendidikan, Anda perlu menyetor uang dalam jumlah besar karena hasil tabungan sangat rendah. Saat ini saja, bunga tabungan hanya berkisar nol sampai 3 persen. Pun jika Anda lebih memilih menggunakan asuransi pendidikan plus investasi. Produk ini biasanya memiliki resiko investasi yang sama dengan produk reksa dana, tapi imbal hasilnya lebih kecil. Tentu saja, karena ada tambahan biaya-biaya yang dibebankan pada unit investasi Anda.

Namun bukan berarti Anda boleh memilih sembarang produk investasi reksa dana. Sebab, reksa dana saham pun sangat mungkin memberikan hasil yang minus. Wina pun menyarankan supaya dalam mempersiapkan dana pendidikan anak, orang tua menerapkan investasi yang sesuai. Apakah jangka pendek, menengah, atau panjang.

Misalnya saat ini anak Anda berusia 2 tahun, maka tahun depan dia akan masuk TK. Karena kebutuhannya bersifat jangka pendek (< 5 tahun), Anda pun bisa memilih instrumen investasi yang memberikan hasil cukup signifikan dalam jangka pendek, seperti tabungan atau reksa dana pasar uang. Untuk kebutuhan untuk 5-10 tahun, silakan pilih reksa dana pendapatan tetap. Bagi pemenuhan kebutuhan untuk 10-15 tahun, Anda dapat membeli produk reksa dana campuran. Dan untuk jangka waktu panjang (> 15 tahun), Anda dipersilakan memilih reksa dana saham.

Satu hal lagi yang terpenting, berdisiplinlah dalam mengelola hasil investasi untuk masa depan anak. Jangan tergoda untuk menarik uang yang Anda investasikan demi keperluan yang kurang bermanfaat. “Kalau terus diambil, sama saja, habis-habis juga ujungnya,” kata Wina lagi. Kini saatnya Anda tidak asal membeli produk berembel-embel “pendidikan” bagi putra-putri Anda.

Diah Ayu Candraningrum

Homepreneur

U-Mag #29, April 2010

Ayo Ganti Kartu Nama
 
Bosan jadi pekerja? Ubahlah status menjadi pebisnis. Dengan syarat jujur dan tak mudah menyerah, bisnis Anda bisa moncer dalam waktu singkat.
***

Homepreneur bukan monopoli wanita. Maaf, kami perlu menegaskan ini, karena banyak yang berpikir, menjadi entrepreneur berbasis rumah hanyalah pekerjaan ibu rumah tangga yang bosan ditinggal kerja suaminya. Untung syukur, impas pun tak apa, toh cuma mengisi waktu. Yang penting enggak rugi.

Salah kira di atas bukan tanpa akar: bagi banyak pria, tak punya kantor (sendiri atau milik bos) bisa meruntuhkan separuh harga diri. Hanya sedikit laki-laki yang siap menghadapi pertanyaan ini dengan rileks:

+ “Kerja di mana?”
- “Di rumah, dong!”

Sebab, kemungkinan besar pertanyaan selanjutnya adalah, “Pengangguran?”

Padahal profesi homepreneur banyak menjanjikan nikmat. Anda bisa memangkas jutaan rupiah uang bensin per bulan. Anda bisa menjadi lebih sabar karena tak harus memaki sopir metromini yang memotong jalan seenaknya. Dan, yang penting: dapat menikmati hidup karena bekerja sesuai dengan minat. “Bayangkan kelelahan luar biasa karena bekerja di kantor lebih dari sepuluh tahun sembari tak menikmati pekerjaan itu,” kata Rene Suhardono--entrepreneur yang ingin semua orang menjadi entrepreneur. 

Solusinya? Homepreneur. Berbisnis dari rumah adalah batu loncatan pertama kerja kantoran menuju pebisnis besar yang punya kantor di mana-mana. Tapi homepreneur bukan tiket gratis ke surga. Ini ibarat titian serambut dibelah tujuh. Jika berhasil Anda serasa di surga, kalau gagal Anda tak tahu anak-istri akan makan apa esok hari. Risikonya lumayan berat. Sebab, untuk berkonsentrasi di bisnis ini, kita kudu sudi meninggalkan pekerjaan dengan gaji memanjakan.

Untuk karyawan bergaji bulanan, menjadi homepreneur tentu tak mudah. Ada lompatan dan adaptasi besar yang harus dilewati. “Tapi, jika berniat keras berbisnis, peluang berhasil akan cukup tinggi,” kata Rene, yang baru saja menerbitkan buku terbarunya, Your Job Is Not Your Career. Tapi kita tentu tak perlu menjadi pengangguran dulu untuk menjadi homepreneur.

Pertanyaannya, jika seseorang sudah mantap posisinya di zona nyaman, apa yang mesti dia lakukan? Rene punya resep jitu. Pikirkan keberhasilan yang bakal Anda tuai dan jangan pernah berpikir gagal. “Risiko selalu ada. Tinggal menghadapinya dengan bekal cukup,” ujarnya. Bekal ini bisa berupa tabungan untuk hidup sehari-hari selama beberapa waktu ke depan (sebelum berhasil) atau pengetahuan memadai soal industri yang diincar.

Sudah pasti ada yang harus dikorbankan. Pertama, gaya hidup! Biasa belanja di mal, sekarang di pasar tradisional; biasa naik mobil, sekarang naik angkutan umum. Menurut dia, banyak orang sejak awal sudah khawatir kehilangan gaya hidup nyaman. Meski pasti terjadi, Rene bisa memastikan kita tak akan kelaparan selama berbisnis dengan perhitungan.

Pertanyaan terpenting: usaha apa yang kita rintis? Ada sejumlah buku yang menyarankan masuk bisnis ini-itu karena bisnis sedang berkembang. Tapi Rene menolaknya. “Pilih jenis usaha yang betul-betul Anda sukai,” katanya. Misalnya Anda suka memasak, jangan berbisnis rental mobil, meski sewa mobil lebih mendatangkan profit. Sesuatu yang dimulai dari hal-hal yang kita senangi biasanya bertahan lama dan membuat kita berani berinovasi, tak gampang menyerah, dan selalu mendapatkan celah.

Jadi mengapa Anda tak mulai menimbang dan memutuskan ini: mengganti kartu nama, dari pegawai (di kantor orang) menjadi pemilik (usaha sendiri).
 
DIAH AYU CANDRANINGRUM
 




Pada Mulanya...

Berikut ini sejumlah panduan yang bisa Anda gunakan untuk memulai bisnis dari rumah:

1. Ide
Dalam proses ini, kita tidak sekadar menerawang. Harus ada kejelasan ide, karena dari sana kita membuat rencana. Di tahap ini kita mulai mencari dana (kalau dana pribadi kurang), menebar jaringan (bergabung dengan kelompok profesional), mengevaluasi tujuan, dan mengubah jenis bisnis jika perlu.

2. Rencana
Rencana harus detail: kapan harus balik modal, berapa terjual dalam sehari, dan biaya promosi, semua harus benar-benar dihitung. Sering kali kegagalan bukan karena ide tak cemerlang, tapi lantaran perencanaan yang tidak sungguh-sungguh.

3. Iklan.
Di awal usaha harus rajin berpromosi. Karena bisnis masih prematur, pilih program-program komunikasi gratis atau berbiaya seminim mungkin. Bisa dari mulut ke mulut, lewat jejaring sosial Internet, atau beriklan baris di media.

4. Situs
Karena kita tak punya gerai dan kantor, situs merupakan etalase bisnis terbaik. Pakai tenaga profesional agar kemasan promosi dibuat semenarik mungkin. Lebih baik uang habis untuk membuat situs berkelas daripada merenovasi kamar tamu Anda.

5. Evaluasi
Setelah bisnis berjalan enam bulan hingga setahun, evaluasi usaha Anda. Jangan buru-buru banting setir saat mengetahui usaha kurang berhasil. Cari titik lemahnya dan perbaiki sumbernya (bukan tambal sulam). Berjalan zigzag, pindah dari satu sektor ke sektor lain hanya akan melemahkan kemampuan.

**


BUKU
Your Job Is Not Your Career
Rene S. Canoneo

Buku ini tak menyajikan tip praktis (how to) untuk berhasil dalam pekerjaan, atau memuat filosofi kerja yang memusingkan. Rene--career coach yang menulis buku ini--hanya ingin memprovokasi kita (oh ya, dia jago soal ini). Dia menjungkirbalikkan logika yang selama ini kita yakini, dan mulai meragukan langkah yang kita buat. Bahkan, di satu babnya, berani-beraninya dia meminta kita bertanya siapa diri kita sebenarnya. Pertanyaan itu penting untuk mengetahui apakah kita selama ini berada di rel yang benar? Atau justru kita mengerjakan hal yang bertolak belakang dengan keinginan kita. Intinya, kejarlah kebahagiaan, maka yang lain akan datang (termasuk uang).
Mengutip Rene: “Happy is here and now.”

Wednesday, November 10, 2010

Multiple Roles of Me

Ternyata nggak gampang ya menjalani banyak peran. Eittts, jangan tuduh saya aktris sinetron streaming lo. Nop. Saya hanya seorang perempuan, istri, wanita karir (padahal kyknya udah mentok deh karirnya:), mahasiswa yang masih punya utang kuliah, mahasiswi yang sedang ngerjain tesis (dan ditargetkan harus sidang tesis bulan depan), pekerja lepas juga dan ibu hamil 25 minggu. Haduh, banyak bener yak. Nulisnya aja capeks.

Trs masalahnya apa? Kayaknya lebih k agak sulit mengatur waktu buat berbagai peran tadi. Sebagai istri, pengen menemani suami dimanapun dan kapanpun. Cuman yg ini kyknya susah Secara suami saya lebih banyak waktu di kantornya deh kyknya dibanding sm istrinya.

Sebagai karyawan sebuah perusahaan, saya dituntut harus menyelesaikan kerja sebelum deadline. Alhamdulilah, saya bisa menyiasatinya dengan manajemen waktu yg baik meskipun tugas membludak.

Kalo peran sebagai mahasiswa yang masih harus kuliah malam hari, haduh, itu kyknya berat de. Soalnya selain saya udah agak sulit berpindah karena perut yang semakin membesar, juga kalo udah malem pengennya tidur aja dan males mikir. Cuma lucunya, setiap saya kuliah, baby di dalam perut kok gerak2 ya ndenger suara dosennya. Akankah dia jadi anak rajin menuntut ilmu ataukah justru malas belajar? (tolong dibaca kyknya presenter SILET ya)

Ini ni kyknya yang paling berat. Nyelesein tesis. Soalnya deadline bulan depan. Tapi skrg aja masih belum nemu narasumber untuk diwawancara. Tadinya mo pake metode kuantitatif yang melibatkan puluhan responden, haduh nyerah deh. Saya mendingan pilih kualitatif aja yang butuh max 10 narasumber. Masalahnya, saat ini saya belum nemu satupun narasumber. Dan masalah lain, saya nggak tau musti nyari kemana.

Soal pekerja lepas, ow kyknya mo saya pending dulu de. Secara sekarang saya mo berkonsentrasi ke peran yang paling saya nikmati yakni menjalani peran sebagai ibu hamil. Iyalah, secara udah lama saya menunggu2 momen ini. Pas ada kok mau dikalahkan sama kerjaan, kuliah, tesis, dll. No way...

Sow, di tengah hectic-nya hari2 saya, tak lupa rajin kontrol ke dokter. Ada bercak darah sedikit, lgs ke dokter. Ada sakit ini-itu, langsung periksa dokter. Karena saya nggak mau ada apa2 dengan kehamilan saya. Untungnya, dokter saya bisa ditelpon or sms.

Tak lupa juga, selalu saya sempatkan ikutan program terapi musik, senam hamil dan kelas2 persiapan menjadi orang tua. Biar sehat dan nggak stress katanya. Karena stress orang tua, bisa berefek pada anak. Maksudnya, anaknya jadi hiperaktif nantinya. Hiyy enggak de...

So, kini saya mencoba menikmati hari2 saya. Mencoba untuk let it go lah. Mencoba belajar lebih sabar dan ikhlas menerima kehidupan. Kalo memang belum jodoh, ya udah nggak usah dipaksain. Ini pelajaran terbesar yang saya dapat dalam fase kehidupan saya saat ini. Semoga sifat ini menurun ke anak saya ya, mampu menerima dengan ikhlas apapun yg ada di depan mata sambbil terus berusaha keras meraih yang terbaik.

Kehamilan Pertamaku

Ternyata ya, jika Allah SWT berkehendak, hal yang dirasa tak mungkin pun bisa terjadi. Dan saat that miracle happened to me, I just can't say even a word to describe how really really really happy I am.

Saya dan suami menikah sejak 17 November 2005. Itu hari dimana kita berdua melaksanakan akad nikah, mengucap janji sehidup-semati. Tentu dong, sebagai sepasang pengantin baru, kami berdua menginginkan segera diberi momongan. Apalagi kedua saudari saya cuma kosong sebulan dari akad nikah je.

Ternyata eh ternyata, ditunggu sebulan, tiga bulan, enam bulan, kehamilan gak dateng juga. Pas coba dateng k dokter obsgin yang profesor, cuma dibilang, "kalo pengantin baru, gak usah khawatir. kalo sudah setahun belum hamil, barulah khawatir." Lagh gmn dok? Orang kita berdua kan pengen cepet dapet keturunan. Ini malah cm dikasi obat penyubur rahim. Sebutir pula. Cuman emang gede banget si ukurannya. Akhirnya kita pun beralih ke dokter lain dan hasilnya sama saja. Okeh, kita akan menuruti saran dokter2 itu.

Setelah setahun, kok masih belum hamil juga? Apalagi semakin banyak teman yang menikah dan beberapa waktu kemudian sudah hamil. Sekali dua kali si nggak papa ya mendengar kabar gembira itu. Tapi lama-kelamaan, kok hati ini panas juga. Bukan karena iri (ada sih sedikit), tapi lebih kepada "kenapa aku yang duluan belum, ya Allah, kenapa dia yang belakangan sudah?" Apalagi pas denger adek saya yang menikah belakangan tiba2 hamil. Haduh, nggak jelas itu perasaan mau ikutan seneng atau sedih luar biasa.

Kami pun semakin rajin berobat kemana-mana. Tetapi hasilnya sami mawon alias sama ajah. Hingga akhirnya kami meyakini berdua, bahwa semuanya pasti akan datang pada saatnya. Kyk judul lagu, semuanya akan indah pada waktunya. Akhirnya, berbekal kelapangan dada dan doa terus-menerus, kami pun belajar untuk tak gusar kala menerima undangan kawinan (yang biasanya akan berbuntut berita gembira kehamilan). Justru kami mendoakan supaya pasangan tersebut cepat diberi momongan dan nggak merasakan apa yang kita rasakan.

Ok, passing the time, kita jalani berdua. Ponakan2 lucu justru jadi pelipur lara. Meski kadang2 mikir, "Seneng kali ya punya anak sendiri di rumah. Nggak perlu diuber2 mamahnya suruh cepet pulang hehehe." Kami pun fokus dengan kegiatan2 kami. Eh yang ada malah, si uda dapet promosi di kantor dan saya malah ngelancir ke Belanda ambil S2.

Begitu pulang ke tanah air, satu cita2 besar yang terbayang di kepala adalah having a baby. Langsung deh nyari dokter yang pas. Kalo nggak bisa cara normal, pake inseminasi. Kalo masih nggak jadi juga, siap2 deh bikin bayi tabung. Begitu pikiran kami. Uang tabungan pun mulai diitung2. Secara bayi tabung mahal bow.

Ternyata cara alami belum manjur. Cobalah kita ke tahap berikut yakni insem. Itupun nunggu kualitas sperma dan sel telurnya cihuy. Akhirnya, setelah ikut terapi sekitar enam bulan, berhasillah proses insem dilakukan. Sebulan kemudian, langsung +. Alhamdulilah...

Kini, usia kandungan saya memasuki 25 minggu. Akhir bulan ini rencananya mo USG 4D. Biarlah kata orang mahal dan tak jauh beda dengan USG 2D. Yang jelas, ini anak pertama kami yang sudah kami tunggu lama. Kami pun tak tahu, apakah akan ada kehamilan kedua, ketiga, dst atau hanya sekali ini saja. Jadi apapun kan kami lakukan untuk menjaganya agar bisa terlahir sehat. Dengan kata lain, mumpung hamil...

Poin dari ulasan saya di atas, bersabarlah bagi pasangan yang sudah lama menanti momongan. Fokuskan perhatian pada kegiatan yang bermanfaat dan jangan putus panjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Karena seperti saya bilang di atas, semuanya akan indah pada waktunya.

Mohon doanya ya supaya kehamilan dan proses persalinan saya lancar. Insya Allah, sharing pengalaman ini akan memberi semangat bagi siapapun yang sama-sama menginginkan anak. Cayyoo...